Berbeda dengan BAP, mantan Kabag Ops Polres Malang itu mengaku tidak melihat tembakan gas air mata - sepakbola.blog
Persebaya

Berbeda dengan BAP, mantan Kabag Ops Polres Malang itu mengaku tidak melihat tembakan gas air mata

Terdakwa Kompol Wahyu Setyo Pranoto, mantan Kabag Ops Polres Malang, memberikan keterangan saat diperiksa sebagai saksi dalam Sidang Tragedi Kanjuruhan, Kamis (26/1/2023) di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Ia dihadirkan sebagai saksi untuk dua terdakwa lainnya, yakni Satpam Suko Sutrisno dan Abdul Haris, Ketua KPU Arema FC. Wahyu diperiksa lebih dulu dibanding dua tersangka polisi lainnya yang juga hadir di persidangan.

pemantauan suarasurabaya.net, pemeriksaan yang berlangsung sekitar satu setengah jam mulai pukul 10.00 WIB itu, terlihat jaksa berulang kali menegur Wahyu karena keterangannya berbeda dengan berita acara pemeriksaan (BAP) penyidik ​​Polda Jatim dulu. Salah satunya adalah pernyataan Wahyu yang melihat gas air mata ditembakkan.

“Saksi dalam keterangannya 60 saat pemeriksaan, kata saksi, sesaat setelah melihat penembakan flashball dari Tribun Selatan Brimob, saya berusaha mencari petugas Bagian Operasi (Pasi Ops) yang berada di samping saya sejak awal pertandingan, untuk menghindari anggota menembak atau menghentikannya. Ini keterangan saksi?” tanya jaksa Wahyu.

Dalam sidang hari ini, Wahyu membalikkan keterangannya sendiri di BAP. Ia mengaku tidak melihat saat gas air mata ditembakkan.

“Saya tidak melihat (petugas) menembakkan gas air mata. Saya membuat pernyataan itu (di BAP), karena saya melihat video (kejadian) saat pemeriksaan (BAP),” kata Wahyu mengelak.

Selain membalikkan pernyataan BAP sendiri, Wahyu juga membantah sejumlah pernyataan AKBP Ferli Hidayat, mantan Kapolres Malang.

Pertama, Ferli mengaku tidak mengetahui adanya keributan di dalam stadion karena dirinya keluar melindungi pemain Persebaya usai pertandingan. Ferli mengatakan baru mengetahui banyak korban saat tiba di lobi dan diberitahu Wahyu.

Sementara keterangan Wahyu menyebutkan, usai pertandingan usai, dirinya yang semula bertugas di stadion bersama 300 polisi lainnya langsung meninggalkan stadion. Ia membantu mengamankan mobil barakuda yang ditumpangi pemain Persebaya yang berada di depan massa dan ricuh. Dia kembali ke lobi hanya setelah kendaraan berhasil dievakuasi. Begitu sampai di atrium, Kapolres-lah yang menyuruhnya untuk segera mengevakuasi korban.

“Saat itu saya mengalami kerusuhan di luar, di depan. Saya tidak tahu (ada kerusuhan di dalam), saya tahu (kerusuhan) ada di depan (mobil barakuda dicegat massa). (Dia tahu ada korban meninggal) Saat bertemu Kapolres di depan lobi, dia melihat korban. (Ketahuilah) tembakan gas air mata di depan,” kata Wahyu.

“Saat bertemu dengan Kapolres, barakuda berjalan kami sudah dievakuasi. Setelah barakuda selesai, saya kembali ke lobby menemui Kapolres. Saya lapor, ‘Barakudanya jalan pak.’ Kami mengevakuasi korban, Kapolres yang akan mengantarkannya,” tegasnya lagi.

Kedua, kata Wahyu juga, seluruh anggota berada langsung di bawah kendali masing-masing petugas kontrol (padal) untuk setiap titik yang telah dibagi. Semua Padal bertanggung jawab langsung kepada Kapolri, bukan dirinya.

Pernyataan ini bertolak belakang dengan Ferli yang mengatakan bahwa setiap anggota memiliki aturan diskresi. Harus mampu menilai situasi kritis dan membuat keputusan meskipun harus melanggar peraturan, serta bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

“Sesuai sprint udah terbagi ke utara tiap gapura ada, ada waras, padal. Padal-padalnya menguasai setiap sektor. (bergerak bersama Direktorat Penertiban) Kapolres sebagai Kabag Operasi,” jelas Wahyu.

Ketiga, Wahyu juga menyampaikan akan terus berkoordinasi, termasuk melaporkan kondisi di dalam stadion kepada Kapolres saat berada di ring 1 (di dalam stadion).

“Dari awal permainan, kami berada di utara. Kalau ada kejadian yang saya tidak lihat, Kapolres yang melihat, Kapolres menghubungi saya,” ujarnya.

Meskipun, ketika kekacauan terjadi di stadion usai tembakan gas air mata, Wahyu mengaku pindah ke luar dan tidak mendapat laporan dari Padal maupun Danki Brimob.

“Laporan terakhir (ke Kapolsek) baru datang setelah kami, Pak Samapta dan kawan-kawan dari Brimob berhasil mengevakuasi barakuda,” kata Wahyu.

Hal itu menyanggah pernyataan Kapolsek yang tidak pernah menerima laporan selama pertandingan berlangsung.

Soal larangan gas air mata, menurut Wahyu, belum pernah dijelaskan Kapolri. Selama tiga bulan menjabat sebagai Kabag Ops Polres Malang sejak Juni 2022, lanjut Wahyu, ada tujuh pertandingan, termasuk pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya yang kemudian menjadi Tragedi Kanjuruhan.

“Kami bertugas selama tiga bulan sebagai kepala operasi memainkan tujuh pertandingan kemarin. Dalam 6 pertandingan sebelumnya, Brimob dan Samapta selalu membawa peralatan. Membawa (gas air mata) harus karena cocok dengan sprint,” jelasnya.

Termasuk dua kali rapat koordinasi (rakor) pada 15 September 2022 yang hanya dihadiri internal Polres Malang dan 28 September 2022 yang dihadiri semua pihak terkait, lanjut Wahyu, soal larangan gas air mata tidak pernah dijelaskan.

Larangan ini juga tidak diteruskan oleh Kapolri selaku Kabag Operasional Riset Pam saat memimpin aksi.

“Seingat kami (hanya kata Kapolres) senjata, tindakan kekerasan yang berlebihan dilarang, sekalipun dia bertanggung jawab penuh atas kegiatan anak buahnya,” jelasnya.

Dalam kesaksiannya, Wahyu juga mengaku risalah rapat koordinasi baru dibuat pada 3 Oktober setelah tragedi Kanjuruhan. Sedangkan sebelum pertandingan, dia hanya melapor secara lisan ke Kapolres.(lta/dfn/ipg)

Source: news.google.com

Related Articles

Back to top button
//