Tragedi Kanjuruhan dan masa depan sepakbola Indonesia
Berbagai tragedi atau yang bisa disebut dengan “kebrutalan” terus menghantui. Beberapa waktu lalu bus pemain Arema FC diluncurkan oleh oknum suporter. Tak lama kemudian, beberapa suporter PSS Sleman terluka akibat terkena lemparan batu dari bus oleh pemain Singo Edan. Kasus terbaru, tragedi atau kebrutalan, menabrak bus Persis Solo, dilempar oleh pendukung Persita Tangerang sehingga kacanya pecah dan satu petugas terluka.
NUSADAILY.COM – JAKARTA – Cerita duka dan duka tentang sepak bola Indonesia terus bermunculan dari waktu ke waktu. Hampir empat bulan setelah tragedi Kanjuruhan pada Sabtu malam, tepatnya 1 Oktober 2022, sepak bola Indonesia jalan di tempat.
Berbagai tragedi atau yang bisa kita definisikan sebagai ‘kebrutalan’, beberapa waktu lalu dilancarkan oleh oknum suporter pelatih para pemain Arema FC. Tak lama kemudian, beberapa suporter PSS Sleman terluka akibat terkena lemparan batu dari bus oleh pemain Singo Edan.
Dalam kasus terbaru, Tragde atau kebrutalan terjadi pada bus Persis Solo yang dilempar oleh suporter Persita Tangerang hingga kacanya pecah dan seorang pejabat terluka.
Wali Kota Solo Gibran Rakabuming mencuit bahwa penyerangan tersebut akibat tragedi Kanjuruhan yang tidak tertangani secara maksimal.
Sejak rollback Liga 1 2022/2023 pada 5 Desember 2022, kepemimpinan wasit tak kunjung membaik.
Wasit terus-menerus membuat keputusan kontroversial. Penampilan wasit masih seperti sebelum tragedi Kanjuruhan.
Jalannya kompetisi semakin tidak menentu. Jadwal pertandingan yang dirancang PT Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai operator semakin semrawut. Semakin banyak pertandingan tidak dapat diadakan.
Teranyar, laga Arema vs Bali United ditunda. Pasalnya, manajemen Arena belum bisa memastikan di mana pertandingan akan digelar. Arema sempat menolak bermain di beberapa daerah.
Dalam sepekan terakhir para pemain Areama dihantam secara psikologis oleh kenyataan pahit. Mereka juga korban tragedi Kanjuruhan dan kini muncul menjadi tersangka yang akan dituntut secara sosial.
Kebencian terhadap sepak bola itu nyata. Sepakbola sebagai sarana perjuangan seakan menghilang di Arema. Sepak bola menderita bagi Arema. Dan benih-benih persatuan Tragedi Kanjuruhan mulai retak.
Seolah-olah seseorang dengan sengaja menyulut dendam lama. Kisah-kisah perseteruan masa lalu telah dialihfungsikan menjadi setara dengan pelemparan bus Arema. Kebencian tercipta lagi.
Dan sayangnya, Liga 1 tidak menerapkan promosi degradasi musim ini. Hal itu ditegaskan Komite Eksekutif (Exco) PSSI usai memutuskan Liga 2 2022/2023 dengan alasan yang terkesan masuk akal.
Liga amburadul: jadwal berantakan, wasit tak jeli memutuskan apa yang terjadi, suporter mulai brutal lagi dan pemain menjadi korban sistem, memaksa petinggi PSSI melepaskan diri.
Tragedi Kanjuruhan yang menelan korban 135 orang tewas dan puluhan luka-luka, dan sisanya menderita luka emosional dan psikologis, sama sekali tidak mengubah sepak bola Indonesia hingga saat ini. Keduanya tidak peka.
Cerita yang dialami Arema FC musim ini pasca tragedi Kanjuruhan sebenarnya bisa cepat teratasi. Cerita masa lalu bisa jadi refleksi.
Pada tahun 2005, tepat sehari sebelum babak 16 besar melawan Persija, Persebaya tersingkir. Saat itu, isu keamanan suporter menjadi alasan Bajol Ijo menolak bertanding.
Alhasil, Persebaya dinyatakan kalah dan akhirnya dijatuhi hukuman penurunan pangkat. Meski kisahnya pahit, manajemen Persebaya menilai ini jalan terbaik demi keselamatan suporternya.
Setahun berselang, giliran PSS Sleman dan PSIM Yogyakarta yang mundur dari kompetisi. Sikap tersebut diambil PSS dan PSIM pasca gempa di sekitar Yogyakarta pada 27 Mei 2006.
Alasan mengapa PSS dan PSIM saat itu bersimpati pada korban gempa dan infrastruktur yang rusak. Beruntung, tak lama setelah hengkangnya kedua klub tersebut, PSSI menyatakan tidak akan ada promosi maupun degradasi.
Dua kisah di atas sebenarnya bisa menjadi renungan. Pasca tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober lalu, publik berharap Arema mengambil sikap untuk tidak melanjutkan kompetisi.
Tapi tidak demikian. Manajemen Arema masih ngotot melanjutkan kompetisi. Hal ini dipersepsikan oleh publik, khususnya pendukung nasional, sebagai tindakan ketidaksukaan yang akan terjadi.
Karena itu, terjadi gugatan terhadap Arema yang bermain di kotanya. Rombongan suporter satu per satu menyatakan tak mau Arema menjadikan kotanya sebagai basis.
Sisa musim 2022/2023, Arema harus didepak dari Malang. Selain tidak memiliki stadion yang dianggap memadai, PSSI memberlakukan larangan bermain melawan Malang selama sisa kompetisi.
Pahitnya tragedi Kanjuruhan semakin pahit karena banyak pihak yang tidak mengambil pelajaran dari kejadian suram tersebut. (CNN Indonesia/Abdul Susila)
Batas kota yang bisa dijadikan markas Arema adalah 250 kilometer dari Malang. Dengan kata lain, tim yang sahamnya dimiliki Iwan Budianto itu bisa berlaga di Jawa Tengah, Jawa Barat, atau DKI.
Dengan adanya penolakan publik terhadap Arema FC ini diharapkan kerendahan hati pemilik Arema FC. Kekacauan dan perpecahan ini harus diakhiri. Jika tidak, semakin banyak dampak negatif yang tercipta.(cnn/han)
Source: news.google.com